Bisa ga sih doa merubah ketetapan Allah?

Sebelum masuk ke doa, izinkan penulis menguraikan tentang ketetapan Allah SWT, agar nantinya penjelasannya menjadi sempurna.


Ketetapan/keputusan Allah disini diartikan; qadha. Sedangkan qadhar adalah ketentuan Allah, dimana keduanya wajib kita imani. Secara makna qadha diarahkan untuk segala keputusan Allah yang telah tercatat sejak zaman azali (tak berwaktu), sedangkan qadhar adalah perwujudan dari qadha. Contoh ringan; Allah SWT menetapkan si Budi sebagai orang yang jenius atau sebagai pengusaha, maka itu yang dinamakan qadha, sedang realita kehidupannya si Budi benar adanya menjadi orang yang jenius atau pengusaha, maka itulah yang dinamakan qadhar.

Rasulullah saw bersabda: “Allah mencatat taqdir-taqdir makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi dengan selisih lima puluh ribu tahun” Hr. Ibnu Majah


Kembali lagi ke qadha (ketetapan), qadha itu dibagi dua, ada qadha mubram dan qadha mu’alaq. Qadha mubram adalah sebuah ketetapan Allah yang sudah tercatat di Lauh Mahfuz dan tidak bisa dirubah-rubah lagi.

Allah SWT berfirman; “Keputusan-Ku tidak dapat diubah dan Aku tidak mendzalimi hamba-hamba-Ku.” (QS. Qaaf: 29)


Sedangkan qadha mualaq adalah sebuah ketetapan Allah yang sudah tercatat di Lauh al-Mahfuz akan tetapi bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah dan itu pulalah tergantung usaha manusia dengan ketaatannya kepada Allah SWT.

Allah berfirman: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz).” (QS. Ar-Ra’d: 39)


Kemudian bagaimana caranya agar (qadha muallaq) ketetapan Allah dapat berubah??


Ketetapan Allah dapat berubah bergantung dengan hambanya, maksudnya? Jika seorang hamba senantiasa beribadah tekun, berdoa dan melakukan amalan baik; seperti memperbanyak silaturrahim, niscaya ketetapan Allah terhadap hambanya akan berubah. Rasulullah bersabda; “Qadha tidak bisa ditolak kecuali dengan doa dan umur tidak bisa bertambah kecuali dengan melakukan amalan baik” Hr. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Syaibah, At-Thabrani, dan Bazzar.


Dalam Al-quran Allah SWT mengajak manusia untuk berdoa dan berjanji akan mengabulkannya;

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya niscaya akan Aku perkenankan bagimu” (QS. Ghafir: 60)


Allah SWT juga berfirman;

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku…” (Al-Baqarah: 186)


Bahkan Rasulullah menganjurkan umatnya agar senantiasa berdoa, sebagaimana sabdanya;

“Doa adalah senjata orang mu’min, dan merupakan tiang agama dan cahaya langit dan bumi”Al-Hadits


Terus apa gunanya kita berdoa, sedangkan kita sendiri tidak tahu ketetapan Allah (baik itu mubram ataupun muallaq) yang diberikan kepada kita, apakah itu buruk atau baik?


Justru itulah, kita diwajibkan berusaha, beribadah, berdoa dan melakukan amalan baik agar ketetapan Allah yang diberikan kita adalah ketetapan yang baik-baik saja.


Umar bin Khattab pernah berdoa ketika sedang thawaf;

“Ya Allah, jika Engkau telah mentakdirkan aku tergolong golongan orang-orang yang bahagia, tetaplah aku di dalam keadaan aku (seperti orang-orang yang berbahagia). Sebaliknya jika Engkau telah tetapkan aku di dalam golongan orang-orang yang celaka dan berdosa, hapuskanlah takdir itu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang mendapat kebahagiaan dan ampunan.”


Jadi bisa disimpulkan ketetapan Allah SWT (muallaq) bisa berubah, sesuai dengan usaha manusia, baik itu berupa doa maupun amalan baik.


Wallahu Ta’ala A’lam bis-Showab.

Pake cadar?


"Sebenernya wajib ga sih make cadar?" Itulah kurang lebih pertanyaan yang pernah keluar dari sebagian akhwat yang masih kebingungan tentang hukum memakai cadar. Sebagian dari teman akhwat kita ada yang memakai cadar dan adapula yang tidak memakainya. Mereka yang tidak memakai cadar mungkin sudah mengetahui bahwa hukum memakainya tidak wajib, atau mereka tidak mengetahui apa-apa tentang hukumnya. Mereka yang memakai cadar pun mempunyai hujah berbeda-beda. Sebagian dari mereka memang benar-benar mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan memakai cadar. Namun, ada pula dari mereka yang memakainya hanya sekedar menghindari fitnah, lebih kepada sifat hati-hati, menghindari timbulnya hawa nafsu dari kaum adam.

Banyak ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Ada sebagian ulama yang mewajibkannya dengan berpegang teguh kepada hadits Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa dia menutup wajahnya ketika sedang melakukan haji dan berpapasan dengan rombongan orang asing, sampai rombongan tersebut menjauh. Namun, adapula ulama yang tidak mewajibkannya, sebagaimana yang dikatakan Mufti Agung Mesir Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad, dimana beliau sudah memberikan fatwa tentang masalah ini ketika seorang muslimah menanyakannya. Sebenarnya fatwa ini sudah lama beliau sampaikan kepada masyarakat, namun sepertinya sebagian masyarakat ada yang belum mengetahuinya. Berikut jawaban Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad tentang hukum memakai cadar;

Pakaian islami yang diwajibkan atas perempuan muslimah adalah semua pakaian yang tidak membentuk lekuk badan tidak transparan, serta menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ada larangan baginya untuk memakai pakaian yang berwarna dengan syarat tidak mencolok, menarik perhatian atau memikat lawan jenis. Bila syarat-syarat ini dapat terealisasi pada suatu jenis pakaian tertentu, maka seorang muslimah dapat memakainya dan menggunakannya untuk bepergian (keluar rumah).

Adapun hukum memakai cadar yang menutup wajah bagi perempuan dan sarung tangan yang menutup kedua telapak tangannya, maka menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah tidak wajib. Sehingga seorang muslimah boleh membiarkan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanallahu wa Ta'ala:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (An-Nur: 31)

Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan para ulama menafsirkan bahwa "perhiasan yang biasa nampak" dalam ayat diatas adalah wajah dan telapak tangan. Penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas, dan Aisyah Radhiyallahu 'anhum

Jumhur ulama juga berpegang pada ayat;

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khumur) ke dadanya (juyub),"

Al-Khimar adalah penutup kepala atau kerudung. Sedangkan aljaib adalah bagian pakaian yang terbuka di atas dada. Dalam ayat ini Allah Subhanallahu wa Ta'ala memerintahkan kepada seorang muslimah untuk menutup dadanya dengan kerudung. Seandainya menutup wajah merupakan suatu kewajiban, niscaya ayat tersebut juga akan menjelaskannya secara jelas.

Sedangkan dalil dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa Asma binti Abu Bakar mengunjungi Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam pun berpaling darinya seraya bersabda;

يَا أَسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا

"Wahai Asma, seorang perempuan jika telah mencapai msa haidh, tidak boleh ada yang terlihat darinya selain ini dan ini. Beliau mengatakan demikian sembari menunjuk wajah dan telapak tangannya". (HR Abu Daud)

Dan masih banyak dalil lain yang secara tegas menjelaskan tidak wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan.

Di lain pihak, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa muslimah wajib menutup wajahnya. Mereka berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa dia berkata; "Rombongan-rombongan haji melintasi kami yang sedang dalam keadaan ihram bersama Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam. Jika salah satu rombongan sejajar dengan kami, maka setiap orang dari kami menurunkan jilbabnya dari arah kepalanya untuk menutupi wajahnya. Bila mereka telah menjauh dari kami, maka kami membuka wajah kami kembali."

Hadits ini tidaklah menunjukan kewajiban menutup wajah bagi perempuan, karena perbuatan sahabat sama sekali tidak menunjukan suatu kewajiban. Hadits ini juga tidak menutup kemungkinan dikhususkan untuk para ummu al Mu`minin (para istri Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam) sebagaimana kekhususan larangan menikahi mereka setelah Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggal dunia. Di samping itu, sebagaimna diketahui dalam ilmu ushul fiqh, bahwa peristiwa personal yang mempunyai hukum khusus untuknya, jika mengandung kemungkinan-kemungkinan hukum yang berbeda, maka ia mengandung makna ijmali` (global), sehingga tidak bisa digunakan sebagai dalil.

"إن وقائع الأحوال إذا تطرق إليها الإحتمال كساها ثوب الإجمال، فسقط بها الإستدلال"

Imam Malik dalam kitab Muwatho-nya, meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda;

لا تنتقب المرأة المحرمة ولا تلبس القفازين

"Seorang perempuan yang sedang melakukan ihram tidak boleh memakai cadar dan sarung tangan."

Hadits ini menunjukan bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan wanita merdeka (bukan budak) bukanlah aurat. Bagaimana mungkin keduanya adalah aurat, padahal para ulama telah sepakat atas kebolehan membukanya ketika sedang melakukan shalat dan kewajiban ketika sedang melakukan ihram. Karena sebagaimana diketahui, tidak mungkin suatu aurat dibuka ketika sedang melaksanakan shalat, lalu wajib dibuka ketika berihram. Disamping itu, hal-hal yang dilarang dalam ihram pada asalnya adalah hal-hal yang dibolehkan, misalkan memakai pakaian berjahit, minyak wangi, berburu, dan lain-lain. Tidak satupun dari hal-hal yang dilarang itu awalnya wajib, lalu kemudian diharamkan karena melakukan ihram.

Kesimpulannya, menutup wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita muslimah hukumnya tidaklah wajib, melainkan hanya masuk kedalam wilayah kebolehan (mubah), Sehingga jika dia menutup wajah dan kedua telapak tangannya, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila ia hanya memakai pakaian islami saja, tanpa menutup wajah dan telapak tangannya, maka dia telah melakukan kewajiban menutup aurat yang dibebankan atasnya. Wallahu Subhanahu wa Ta'ala A'lam


Penting Buat Akhwat & Perlu Juga Buat Ikhwan


Maksud dari judul diatas adalah seputar masalah haidh, yang kiranya penting n wajib banget buat akhwat, khususnya yang belum tahu haidh dari segi hukum n haditsnya. Perlu buat ikhwan juga, soalnya dia bakal jadi suami yang mo mimpin istrinya. So, dia harus tahu banget masalah beginian, biar nanti pas ditanyain sama istrinya, ga telmi, liat buku dulu, or liat kitab dulu sebelum jawab soal. Kan gengsi klo gitu. Kwkwkwk. Makanya buat ukhti ato akhi yang numpang lewat di blog ini, sebelum ditutup, wajib dibaca ni coretan yang di bawah ni.

Sebenernya tabu buat penulis ngomongin beginian di publik, tapi berhubung ini masalah fiqih yang harus buka-bukaan n harus jelas, di sisi lain juga ada manfaatnya buat penulis (jadi buka2 kitab) n temen2 yang ngebutuhin pengetahuan ini, terutama yang nanyain masalah beginian, mau ga mau harus ditulis. Disini, penulis cuma ngejelasin hukum-hukumnya aja. Adapun masalah keluhan ato praktek, itu bisa tanya langsung sama ukhti, dokter, atau bidan, yang paham banget sama masalah ini. Berikut penjelasan tentang haidh disertai soal-soal sebelum ngejelasinnya.

Masalah haidh termasuk masalah yang khusus diantara masalah hukum penting lainnya. Sebab haidh ini dibahas secara khusus, ga bakal masuk ke hukum thaharah, sholat, baca quran, puasa, i'tikaf, n hukum yang lain. Haidh bakal ngebahas yang namanya darah doank, bukan darah abis luka ya. Tapi darah ini darah khusus yang ada di tubuh ukhti yang bakal keluar lewat (afwan) farj-nya. Haidh ini termasuk salah salah satu penyebab terjadinya mandi wajib. Trus, temennya haidh siapa aja? Diantaranya adalah; ngelakuin junub, si ibu yang melahirkan, sama orang yang meninggal. Tapi, buat kali ini penulis cuma mo ngejelasin yang haidh-nya aja, n bakal nyambung ke masalah nifas, istihadhah, sama buntut2nya.


Darah itu apa sih?

Sebelum masuk ke masalah haidh, penulis pengen ngejelasin pengertian tentang darah dulu, biar semuanya lengkap. Darah secara bahasa adalah sesuatu yang keluar dari dalam tubuh karana adanya luka. Tapi klo udah masuk ke pembahasan haidh, pengertiannya berubah jadi sesuatu yang keluar dari dalam tubuh, baik itu karena luka ataupun tidak.


Trus klo darah perempuan macamnya apa aja?

Ulama fiqih sepakat klo darah perempuan itu dibagi jadi 3, antara lain; darah haidh, darah nifas, sama darah istihadhah. Trus Imam Syafi'i nambahin satu lagi, yaitu; darah fasid (rusak).

Hakikatnya, darah perempuan yang punya waktu-waktu tertentu untuk keluar dari farj yang sesuai sama hukum syariat yang khusus itu ada dua; darah haidh sama darah nifas aja, karena dua darah tersebut adalah darah yang bersih dari penyakit. Adapun darah istihadhah sama darah fasid itu darah yang terjadi karena adanya penyakit. Klo darah istihadhah itu darah yang terjadi karena adanya penyakit yang terpengaruh dari darah haidh, darahnya kaya darah haidh cuma ga punya ciri yang ada pada darah haidh, klo darah fasid itu darah penyakit yang beda banget sama darah haidh. Kata Imam Syafi'i; "Kalau seorang perempuan mengeluarkan darah dari farj-nya sebelum umur 9 tahun, maka itu dinamakan darah fasid, bukan darah istihadhah. Sebab darah istihadhah itu keluar seperti keluarnya darah haid berdasarkan waktunya dan karena pengaruh juga dari darah haidh" (bisa diliat di Kitab Bidayatul Mujtahid)


Apa sih haidh itu?

Pengertian darah-darah perempuan dah kelar, sekarang kita menuju ke pembahasan haidh. Haidh menurut arti bahasa dikatakan aliran air, tapi klo menurut istilah syar'i adalah; darah alami yang tanpa penyakit yang keluar dari dalam rahim ukhti setelah baligh pada waktu tertentu. Dalilnya apa? Allah berfirman;

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu". (QS al Baqarah: 222)

Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata pada Fatimah binti Abi Hubaisy Radhiallahu 'anhu; Apabila haidhmu datang, maka tinggalkanlah shalat dan apabila ia berhenti maka bersihkanlah dirimu dari darah itu (mandi) lalu shalatlah." Muttafaq 'Alaihi.


Trus, klo Istihadhah itu apa?

Istihadhah secara bahasa ialah darah umum dan bukan darah haidh. Tapi klo menurut istilah ialah; darah penyakit yang keluar dari pembuluh darah yang dekat dengan rahim, darahnya tidak bau, dan biasanya keluar bukan pada waktu keluar darah haidh. (bener ga tika?)

Klo darah yang seperti ini keluar, cukup dibersihkan saja. Darah ini ngebatalin wudhu, tapi ga wajib mandi besar, tetep bisa ngelaksanain shalat sama puasa.

Diriwayatkan dari Abu Daud, dari Fathimah binti Abu Hubaisy; Bahwasannya ia sedang keluar darah penyakit (istihadhah). Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata kepadanya: "Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang telah dikenal. Jika memang darah itu yang keluar maka berhentilah dari shalat, namun jika darah yang lain (istihadhah), maka berwudlulah dan shalatlah, karena sesungguhnya darah itu adalah darah penyakit"

Imam Syafii mengkhususkan darah istihadhah ini, dimana darah ini keluar karena ada pengaruh dari darah haidh, sebagaimana yang udah dijelaskan diatas. Berarti bisa dikatakan bahwa orang yang pernah mengeluarkan darah ini sudah baligh. Maka, darah anak perempuan yang belum baligh dan darah ibu yang monopause bukan darah istihadhah, tapi darah fasid, dimana darah fasid ini hanya membatalkan wudhu saja.


Trus Nifas itu apa?

Nifas menurut bahasa artinya kelahiran, tapi klo menurut istilah fiqih ialah darah yang keluar dari farj setelah si ibu melahirkan bayi. Darah ini keluar ditempat keluarnya darah haidh.


Apa aja sih hukum-hukum ketika lagi haidh?

Hukum-hukum ketika lagi haidh sama dengan nifas. Berikut hukum-hukum haidh sama nifas yang sama;

1. Wajib tinggalin Shalat, baik shalat wajib maupun sunnah, tapi klo dah suci dari haidh, ga perlu diqodho, sebagaimana dalil yang udah disebutin di atas, kecuali klo dapet sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempurna, baik pada awal maupun akhir waktu shalat tersebut. Contohnya pada awal waktu, ukhti dapat haidh pas sebelum matahari terbenam, dan waktu yang sesaat tadi cukup buat satu rakaat sempurna, maka wajib buat ukhti mengqadha shalat maghrib yang tertinggal tersebut setelah ia suci. Contoh di akhir waktu, ukhti suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempet dapet satu rakaat dari waktu tersebut, maka wajib buat ukhti segera bersuci dan mengqadha shalat shubuh yang ketinggalan. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwasannya Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu”.

2. Tinggalin puasa wajib dan sunnah, tapi klo dah suci, wajib mengqodho yang wajib, dalilnya;

Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Said Radhiyallahu 'anhu: bahwasannya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada wanita dimana wanita itu bertanya tentang makna setengah agama bagi wanita; "Bukankah jika kamu mengalami haidh kamu tidak sholat dan tidak juga puasa?"

3. Ga boleh masuk masjid, dan ga boleh lewat klo khawatir ngotorin masjid, karena darah itu najis dan haram mengotori masjid dengan najis. Tapi klo ga khawatir, maka boleh ngelewatinya.

4. Ga boleh Thawaf,

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata; Kami pernah melakukan haji bersama Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam, hingga ketika kami sampai di Sarif (suatu tempat yang dekat Ka'bah), tiba-tiba aku datang haid. Kemudian Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam menemuiku dan aku sedang menangis. Beliau bertanya; Apakah kamu datang haid? Aku menjawab: Ya, Beliau bersabda: Sesungguhnya masalah ini sudah merupakan ketentuan Allah atas setiap wanita anak-cucu Adam, maka mandilah kemudian berihramlah untuk haji dan janganlah melakukan thawaf! Riwayat lain mengatakan; (sampai kamu suci)

5. Ga boleh baca al Quran;

Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah bagi wanita yang sedang haid dan junub membaca al Quran". (HR. Tirmidzi)

6. Ga boleh nyentuh al Quran tanpa sampul

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

Allah Subhanallahu wa Ta'ala berfirman:

Tidak menyentuhnya (al Quran) kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS al Waqi'ah: 79)

Ulama Syafi'i berpendapat boleh bawa al Quran pake tas tanpa menyentuhnya, ato boleh tafsir al Quran asalkan isi tafsirnya lebih banyak dari al-Quran itu sendiri,

7. Ga boleh ngelakuin jima', boleh nyentuh istri kecuali di daerah antara pusar sampe lutut. Allah Subhanallahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri".

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin Said Radhiyallahu 'anhu: bahwasannaya beliau bertanya kepada kepada Nabi: Apa yang halal untukku ketika istriku sedang haidh? Nabi menjawab: "Kamu boleh menggaulinya dalam keadaan ia memakai izaar (kain bawahan menutupi bagian tubuh dari pusar sampai lutut), kemudian beliau menggaulinya (tanpa senggama)".

8. Wajib mandi klo udah bersih dari haidh sama nifas, haditsnya udah ada diatas.


Kapan sih ukhti mulai haidh?

Para Ulama Fiqih punya dua pendapat; yaitu mulainya haidh yang tidak berdasarkan waktu (berdasarkan sifatnya darah keluarnya, baik perempuan yang masih kecil maupun yang sudah dewasa) dan berdasarkan waktu. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah mulainya haidh yang berdasarkan waktu. Dan hal ini juga diperdebatkan, tapi yang lebih kuat adalah pendapat ulama Syafi'iyah, Hambali, dan sebagian Hanafiyah; yaitu ukhti bisa mulai haidh pas udah sempurna umur 9 tahun. Tapi, pas umur segitu ga bisa dikatakan darah haidh secara mutlak, sehingga ketika ukhti berumur 9 tahun mengeluarkan darah, maka darah tersebut harus diliat oleh orang yang udah paham banget tentang darah haidh. Klo ternyata bener itu darah haidh, maka ukhti itu udah baligh, tapi klo bukan darah haidh maka setiap dia ngeluarin darah maka harus selalu diperiksa sampe umur 13 tahun, dimana umur tersebut umur yang mutlak untuk ukhti yang udah baligh.


Gimana klo keluarnya sebelum umur 9 tahun?

Klo keluarnya sebelum umur 9 tahun, maka darah itu adalah darah istihadhah atau darah fasid, kecuali pendapat Ibnu Taimiyah sama Ibnu Hazm yang bilang klo keluarnya darah haidh itu ga berdasarkan waktu, tapi berdasarkan sifat. Walaupun umur berapa aja klo darahnya udah bersifat darah haidh, maka itu udah dikatakan baligh.


Terus, Apa aja sih sifat-sifatnya?

Darah haidh itu biasanya warnanya merah keiteman, punya bau ga sedap, dan keluarnya ga ngucur kaya keluarnya urine, terus keluarnya seperti biasa lazimnya masa haidh. Ukhti yang pernah dapet tapi darahnya warna kuning kaya (afwan) nanah atau keruh antara kekuning-kuningan sama kehitem-iteman, klo itu terjadi pas masa haidh atau nyambung sama haid sebelum suci, maka itu masih dinamakan haid dan berlaku buat ukhti hukum-hukum haid. Tapi klo dapetnya kaya gitu abis masa suci, maka itu bukan darah haidh. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha:

“Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah suci.” (HR Abu Dawud)

Kemudian juga diriwayatkan sama Bukhari tentang hadits yang nyeritain bahwa akhwat pernah ngasih kepada Aisyah sehelai kain berisi kapas yang terdapat disitu darah warna kuning. Maka Aisyah berkata:

“Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih”, yaitu cairan putih yang keluar saat habis masa haidh.


Kapan sih mana monopause-nya?

Banyak ulama berbeda pendapat tentang masa habisnya darah haidh, tapi pendapat yang lebih kuat ialah; ketika ukhti umur antara 50 sampai 70 tahun. Tapi, diantara umur 50 sampe 70 tahun adalah masa ragu-ragunya monopause, maka ketika ukhti udah umur 50 atau diatasnya, maka darah yag keluar harus diperiksa oleh orang yang sudah berpengalaman. Klo darah tersebut udah nandain masa monopause masa ia udah habis masa haidhnya, tapi klo belum ada tanda apapun, maka setiap darah yang keluar harus diperiksa sampe umur 70 tahun. Karena umur tersebut umur yang mutlak untuk perempuan monopause.


Gimana klo keluarnya setelah umur 70 tahun?

Klo keluarnya keluarnya setelah umur 70 tahun, maka darah itu adalah darah istihadhah atau darah fasid. Kecuali pendapat Ibnu Taimiyah sama Ibnu Hazm yang bilang klo monopause itu ga berdasarkan waktu, tapi berdasarkan sifat. Walaupun umur berapa aja klo udah abis darah haidhnya n ga ada lagi sifat darah haidh, maka itu udah dikatakan monopause.


Seberapa lama sih masa haidh itu?

Ukuran masa haidh dibagi jadi 3 bagian; yaitu paling sedikit, paling banyak, sama masa standar.

1. Klo yang masa paling dikit; banyak ulama fiqih berpendapat tentang masa haidh yang paling dikit, tapi pendapat yang lebih dipilih adalah masa haidh yang tidak berdasarkan waktu, yaitu; pas darah keluar sekali (trus ga berlanjut), maka yang sekali itulah yang paling dikit.

2. Klo yang masa paling banyak; ulama fiqih berpendapat masa haidh yang

paling banyak adalah selama 15 hari 15 malam.

Gimana klo melebihi dari itu? Klo lebih dari 15 hari 15 malem, maka darah itu adalah darah penyakit atau fasid.

3. Dan standarnya, masa haidh itu adalah selama 6 atau 7 hari sama malemnya.


Sejak kapan bisa dikatakan darah haidh?

Mulainya keluar darah yang bisa dihitung adalah ketika ukhti merasakan darahnya akan keluar sekalipun belum keluar. Itu udah bisa di itung klo ukhti udah haidh.


Trus gimana klo misalkan ukhti make obat penghilang haidh atau penyegera haidh?

Ulama fiqih negasin ga bolehnya pake obat, baik itu buat ngilangin haidh atau buat nyepetin, terkecuali klo darurat, inget! klo darurat. Contohnya kaya ukhti yang mo haji yang udah suci, tapi pas ditengah-tengah mo thawaf, haidhnya dateng, maka ukhti boleh pake obat buat ngilangin haidhnya. Atau juga pas mo haji dan udah tahu pas waktu haji pasti dateng haidh, maka ukhti boleh pake obat buat buat nyepetin dateng bulannya.


Apa hikmahnya?

Seperti yang kita tahu, darah haid asalnya dari penebalan dinding rahim buat nyiapin proses pembentukan janin yang nantinya berfungsi sebagai sumber makanan buat janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Oleh karenanya, seorang ukhti yang hamil, ga akan dapat haidh lagi. Begitu juga sama ukhti yang menyusui, biasanya ga akan dapat lagi, terutama diawal masa penyusuan. Hikmah yang bisa kita petik didalamnya adalah Kekuasaan Allah Subhanallahu wa Ta'ala, Sebaik-baiknya Pencipta, yang udah nyiptain gumpalan darah di rahim seorang ibu sebagai sumber makanan instant buat janin didalamnya, yang tentu aja dia belum bisa nyerna makanan apalagi dapet makanan dari luar kandungan. Maha Bijaksana Allah Subhanallahu wa Ta'ala yang udah ngeluarin darah tersebut dari rahim ukhti yang tidak hamil melalui siklus haidh karena emang ga butuh. Dengan begitu, kondisi rahim ukhti akan selalu siap bila ada janin didalamnya.

Wallahu Subhanahu wa Ta'ala A'lam

Bahan Rujukan

  1. Wasa`il ta`khir al Haidh au Taqdimihi wa Atsarihi fi al Ibadah, karya Prof Dr Mishbah al Mutawalli as Sayyid Hamad, dosen Fiqih Muqorin Universitas Al Azhar
  2. Fiqih Manhaji 'ala Mazhab Imam Syafi`i, 'Ali as Syirbaji
  3. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Hajar Askolani,
  4. Bulughul Maram

Puasa Daud


Puasa Daud adalah salah satu puasa sunnah yang dilakukan dengan menyelang satu hari, misalkan hari puasa besoknya tidak puasa, dan lusa puasa, dan seterusnya. Nabi Sallallahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan melakukan puasa Daud kepada umatnya yang ingin melakukan puasa dahr (sepanjang masa), sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam dikabarkan bahwa aku pernah berkata bahwa aku akan selalu berpuasa pada siang hari dan salat malam sepanjang hidupku. Kemudian Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya: "Betulkah engkau pernah berkata demikian? Aku menjawab: Betul, aku pernah mengatakannya, wahai Rasulullah. Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Sungguh engkau tidak akan mampu melakukannya. Oleh karena itu berpuasalah dan juga berbukalah. Tidurlah dan bangun malamlah. Berpuasalah tiga hari dalam setiap bulan. Sebab, satu kebajikan itu nilainya sama dengan sepuluh kebajikan. Dan yang demikian itu (puasa tiga hari dalam tiap bulan) nilainya sama dengan puasa satu tahun. Lalu aku berkata kepada Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam: Tetapi aku mampu berbuat lebih dari itu. Beliau bersabda: "Berpuasalah sehari dan tidak puasa dua hari. Aku katakan kepada beliau: Tetapi aku mampu berbuat lebih dari itu. Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Jika begitu, berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu adalah puasa nabi Daud 'alaihi as Salam, dan itulah puasa yang utama. Kemudian aku berkata: Sungguh aku mampu berbuat lebih dari itu. Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Tidak ada yang lebih utama dari itu. (Shahih Muslim)

Sebagaimana hadits diatas, puasa daud dianjurkan bagi orang-orang tertentu, yang mampu dan masih haus ibadah. Misalnya dia setelah biasa puasa Senin-Kamis, tiga hari 'ayyamul bidh' (13, 14, dan 15 setiap bulan hijriyah), ternyata masih kuat lebih dari itu, maka ia diperbolehkan puasa daud.


Imam Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadits tentang puasa daud ini yang artinya, "...puasalah sebaik-baik puasa, yaitu puasanya Daud! Dia berpuasa sehari dan berbuka sehari...". Imam Muslim dalam kitabnya juga meriwayatkan sebuah Hadis yang artinya, "Puasa yang paling disukai Allah adalah puasanya Daud 'Alaihi as Salam : ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan salat yang paling disukai Allah adalah salatnya daud; ia tidur separoh malam, beribadah sepertiga malam, dan tidur lagi seperenamnya."

Kemudian, sampai berapa hari batasan bisa dikatakan puasa nabi daud? Apa seminggukah atau sebulan???

Puasa daud dilaksanakan bagi orang yang benar-benar ingin lebih mendekatkan lagi kepada Allah Subhanallahu wa Ta'ala, karena sebelum ia sudah melaksanakan puasa sunnah yang lain, karena puasa daud itu sendiri adalah pasa yang disukai Allah sebagaimana hadits diatas. Tidak ada batasan dalam puasa daud, jika kita memang berniat melakukan puasa daud, maka berniatlah dengan sungguh-sungguh, istiqomah, tidak seminggu atau sebulan, akan tetapi setengah masa, satu hari puasa dan satu hari tidak puasa. Karena Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berlaku istiqomah dalam menjalankan ibadah, baik wajib maupun sunnah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, aku berkata kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa Sallam : wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain selain engkau, (maka) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ucapkanlah: “aku beriman kepada Allah”, kemudian beristiqomahlah dalam ucapan itu” (HR. Muslim)

Terus, Bagaimana kalau kita lalai dalam melaksanakanya?

Seorang hamba tidak mungkin dapat terus-menerus sempurna dalam istiqomah, pastilah akan mengalami kelalaian, karena manusia tidak akan luput dari kesalahan dan kelalaian yang menyebabkan berkurangnya nilai keistiqomahannya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertakwa untuk mengatasi keadaan ini dan memperbaiki kekurangan tersebut, yaitu dengan beristigfar, meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari semua dosa dan kesalahan, Allah berfirman:

“Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 6),

Istigfar di sini mengandung pengertian bertaubat dan kembali kepada keistiqamahan. Dan ayat ini satu makna dengan sabda Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa Sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radiyallahu 'anhu : “Bertakwalah kepada Alloh di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (HR Imam Ahmad dan At Tirmidzi)

Namun, jika dalam melaksanakannya terus mengalami kelalaian, maka alangkah baiknya melakukan puasa sunnah yang lain yang lebih mudah, seperti puasa Senin Kamis atau puasa Ayyam al Bidh, sebagaimana hadits yang telah disebutkan diatas. Wallahu a'lam



Bahan Rujukan:

1. Fathul Bari, Syarh Shahih Bukari, Ibnu Hajar 'Askolani

2. Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi

Suara Wanita, Aurat?


Masalah suara wanita sudah banyak diperbincangkan oleh kalangan ulama, apakah itu aurat atau tidak? Masalah ini masuk kepada masalah kepribadian wanita itu sendiri, sebagaimana wanita sangat dihormati, sehingga segala sesuatu yang dilakukukannya sangat diperhatikan dibanding laki-laki.
Secara hakikat, islam mengharamkan segala perbuatan yang mengundang kepada fitnah, begitu juga dengan masalah yang akan kita bahas ini. Masalah suara wanita dalam al Quran diqiyaskan dengan suara gelang kaki wanita ketika dibunyikan dan sengaja ingin diperdengarkan oleh para kaum adam, sebagaimana Allah berfirman;
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
"Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan".

Ayat diatas menjelaskan tentang perhiasan wanita yang ada di pergelangan kaki. Allah Subhanallahu wa Ta'ala melarang bagi para wanita yang memakai dan sengaja membunyikan untuk diperdengarkan kaum adam yang dilewatinya. Begitu juga dengan suara wanita, jika sengaja dibuat-buat keras agar para kaum adam tergoda, maka itu tidak boleh dilakukan.

Ulama Syafii mengatakan bahwa suara wanita bukan aurat, karena wanita punya hak dalam bersuara keras, seperti para wanita yang melakukan jual-beli dan bersyahadat, berdakwah, dan segala hal yang mengharuskan ia bersuara keras agar bisa didengar banyak orang. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan suara yang lantang. Al Alusi mengatakan dalam kitabnya, Ruh al Ma'ani sebagaimana pendapat ulama Syafi`i; bahwa suara wanita bukanlah aurat, hanya saja, suara yang keras dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Maka, jika kiranya aman dari fitnah maka suara wanita tidak aurat.

Terus, ada ga sih batasan suara wanita?
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, bahwa wanita boleh bersuara keras, tidak ada batasan, tapi seperlunya aja, dan tidak ada maksud untuk diperdengarkan kaum adam yang membuatnya timbul hawa nafsu. Adapun kaitannya dengan laki-lakinya yang terasa tergoda atau tidak, itu hanya Allah yang Maha Tahu, yang terpenting para wanita berusaha untuk menjaga suaranya ketika berbicara keras agar tidak timbul fitnah dan tidak mengundang syahwat lawan jenisnya. Wallahu a'lam.


Bahan Rujukan:
1. Tafsir Ayat al Ahkam, Prof Dr Muhammad Ali as Sayas
2. Tafsir Ayat al Ahkam, Syaikh Muhammad Ali as Shobuni

Misteri 11 Februari




Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya mengundurkan diri setelah 17 hari berturut-turut di demonstrasi rakyatnya sendiri. Demonstrasi tersebut terjadi diberbagai daerah di Mesir, diantaranya Lapangan Tahrir, Mansoura, Alexandria, dan Qosr ar Riyasi. Mubarak mundur pada 11 Februari 2011.


"Mubarak memilih tanggal yang tepat untuk mundur," demikian ulasan Guardian, Jumat.


Apa yang terjadi pada 11 Februari di tahun-tahun yang lalu? 11 Februari rupa-rupanya tanggal yang cukup penting bagi politik sejumlah negara.





Menurut catatan, pada 11 Februari 32 tahun lalu di Iran terjadi revolusi yang juga menggeser Shah Iran dari kursinya. Revolusi Iran menaikkan pemimpin spiritual Ayatollah Khomeini ke kursi pimpinan negara persia tersebut.





Pada tanggal serupa, 21 tahun lalu di Afrika Selatan, pemerintahan apartheid membebaskan tokoh antiapartheid, Nelson Mandela setelah puluhan tahun dipenjara. Bebasnya Mandela memicu serangkaian kejadian di Afsel yang menyatukan dua ras yang tadinya bermusuhan.









Di tanggal ini juga, Raja terakhir Mesir, Farouk, lahir pada 1920. Farouk lahir ketika Mesir berada di bawah protektorat Inggris. Ia sempat berkuasa beberapa tahun sebelum akhirnya pada 1952, sekelompok perwira militer mengadakan kudeta yang dikenal sebagai Revolusi 1952. Farouk disingkirkan, dan mulailah era militer berkuasa di Mesir. Salah satu perwira itu adalah Gamal Abdul Nasser, calon presiden Mesir yang terkenal.

Category: 0 comments