Kemudahan Berbuah Nama


Sore hari itu, matahari telah tergeser dari posisinya yang teratas menjadi turun kebawah hampir setengahnya tak terlihat. Sinar kuning kemerah-merahan pun keluar darinya, menghiasi suasana desa pesarean dimana anak-anak sedang bercanda tawa bersama ayah dan ibunya, para remaja berbincang santai, tukang becak yang kelelahan pulang dari tugasnya mencari nafkah untuk anak istri, anak-anak yang berbondong-bondong pergi ke madrasah diniyah untuk belajar mengaji dan pengetahuan agama, serta para santri yang pergi ke masjid mendengarkan kyainya berbicara panjang lebar tentang kitab-kitab yang mereka pelajari.

Suasana di desaku selalu begitu setiap harinya, tak ada yang berubah, kecuali jika ada hari-hari besar, seperti maulid Nabi SAW, hari raya Idul Adha, hari raya Idul Fithri. Semua masyarakat pasti memperingatinya dengan berbagai kegiatan. Berbeda lagi jika menjelang khaul[1] almarhum Kyai Sholeh, seorang kyai yang sangat berpengaruh di desaku, seorang kyai yang hidupnya diperuntukan hanya untuk berdakwah, seorang kyai yang karenanya desaku menjadi terkenal. Seminggu sebelum acara, sekitar satu kilometer dari pemakaman dan sekeliling daerah pemakaman kyai berubah menjadi pasar. Berbagai macam makanan, pakaian, bahkan mainan anak-anak tersedia di pasar dadakan itu. Pada hari acara, desa-desa tetangga pasti menghadiri acara tersebut.

Sore itu, Ibuku sedang berbincang-bincang di teras rumah dengan Yu[2] Tuti, sepupuku yang umurnya terpaut jauh denganku. Abah sedang pergi mengisi pengajian di masjid desa tetangga.

"Tut, dongakena anakku ya, ben lahire lancar"[3] tutur ibuku kepada Tuti sambil mengelus-elus perutnya.

"Iya lik, semoga anakke sampean lahire lancar lan dadi anak sing patuh maring wong tua"[4] ucap Tuti yang juga mengelus-elus perut emak.

"Amin," balas ibuku.

Ibuku sedang mengandung hampir 9 bulan, mungkin beberapa hari lagi bayi mungil akan keluar dari rahimnya. Bayi yang akan menambah kebahagiaan rumah, bayi yang akan membahagiakan kakaknya yang ingin mencubit pipinya, bayi yang akan membahagiakan paman bibinya yang ingin mencium keningnya, dan bayi yang akan membahagiakan kakek neneknya yang ingin menimangnya.

Segala perlengkapan bayi telah disiapkan, dari pakaian bayi, makanan bayi, kain untuk membungkus bayi, sampai alat untuk menutup bayi ketika bayi tidur pun sudah disiapkannya. Hanya tinggal menunggu hari kelahirannya.

Namun, ketika tak lama berbincang dengan Yu Tuti, ibuku terasa kesakitan diperutnya. Kesakitan bukan main, sakit sekali. Yu Tuti pun langsung membawanya ke dalam rumah untuk diistirahatkan. Ucapan shalawat terlontar dari mulut ibuku, biasa beliau ucapkan untuk menenangkan rasa was-wasnya. Akan tetapi rasa sakitnya tak tertahankan, sepertinya bayinya ingin keluar dari rumah sementaranya, tubuhnya sudah tidak muat lagi didalam rahim ibunya.

"Sabar ya lik, ta goletna becak nggo gawa lik maring bidan,"[5] ucap Yu Tuti dengan rasa was-was dan tegang melihat bibinya yang tidak kuat menahan rasa sakitnya.

Seketika itu pula Yu Tuti memanggil tukang becak dan menyuruh Munir –adiknya- untuk memanggil Abah di tempat mengajinya. Becak pun datang dan ibuku dan Yu Tuti langsung pergi ke Bidan Aminah yang kebetulan tak jauh dari rumah, letaknya sekitar dua kilo meter dari rumah. Lima belas menit sudah perjalanan dan sampai di klinik bidan, ibuku langsung dibawa menuju ruang bidan dan bu Aminah dengan pembantunya pun langsung sigap mengurusi ibuku dengan peralatan yang cukup memadai.

Shalawat yang diucapkan Ibu pun tak pernah putus, berharap itu sebagai penawar rasa sakit. Bu Aminah langsung menenangkan ibu dengan berbagi ucapan kesabaran dan ketenangan. Walaupun sebenarnya ibu sudah biasa mengalami seperti ini, namun ketika dalam keadaan seperti ini, seolah-seolah ibu lupa dengan semua peristiwa lahir-melahirkan anaknya. Ibuku mempunyai lima anak, dan ini merupakan anak yang ke-enamnya. Semua anak-anaknya dilahirkan di Karangasem, desa ayahku di Brebes, kota yang biasa dijuluki dengan kota Bawang. Dan anak yang ini yang akan dilahirkan di Tegal, kota yang biasa dijuluki dengan kota Bahari.

Setelah beberapa menit kemudian, ibu sudah tidak merasa sakit lagi, seolah-olah seperti sakit perut biasa yang hilang begitu saja rasa sakitnya. Bu Aminah mengira bayinya akan keluar, padahal dia sudah siap membantu ibuku untuk mengeluarkan bayinya. Akhirnya, Ibu pun diistirahatkan untuk sekedar menghilang rasa was-was dan khawatir akan terasa sakit lagi perutnya.

Setengah jam kemudian, ayahku pun datang dengan dibonceng motor murid pengajiannya. Perasaannya bermacam-macam. Was-was karena mendengar berita bahwa istrinya kesakitan yang sangat pada perutnya. Gembira karena sebentar lagi ia akan mempunyai anak lagi.

"Primen mak?,"[6] tanya ayahku sambil mengelus kepala ibuku, seakan terlihat lemas namun tersenyum sumringah, karena suami tercinta telah datang.

"Durung metu bah, nenggoni Abah kayonge,"[7] balas Ibuku sambil tersenyum manis.

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam pun berlalu. Namun bayi yang ditunggunya tak kunjung keluar dari perut ibu. Kesabaran dan ketenangan menyelimuti Ayah dan ibuku. Ibu sudah biasa mengalami detik-detik kelahiran, ayah pun menunggunya dengan setia. Namun, ini berbeda dengan kelahiran kakak-kakaknya, lama sekali menunggu kelahirannya. Di sisi lain ayah sudah kepalang janji dengan teman pengajiannya untuk mengisi ceramah di masjid Ar-Rahmah, sebuah janji yang tidak bisa diingkarinya, karena semua muridnya dan masyarakat sudah menunggu disana, menunggu seorang da'i menyampaikan dakwahnya dengan melontarkan ribuan kalimat Allah SWT yang memang sudah menjadi kewajiban seorang da'i untuk melaksanakannya.

Ayahku pun berpikir, ceramahnya mungkin tak akan lama mengingat bayinya akan lahir, dan kalaupun bayinya lahir disaat dirinya tidak ada ditempat, itu memang sudah ketentuan Allah SWT. Maka, dengan segala kelembutannya, ayahku pun meminta izin kepada ibuku untuk pergi mengisi ceramah sebentar dengan berbagai pilihan tadi. Dengan keikhlasannya, ibuku pun memberi izin, karena memang itu tugas suaminya, dan ibuku berserah diri kepada Allah SWT kalaupun bayinya lahir sedangkan ayah belum kembali lagi. Akhirnya, ayah pun pergi dengan perasaan yang sebenarnya tak ingin meninggalkan istrinya, namun karena janjinya harus ditepati, ayah pun harus menunaikannya.

Satu jam pun berlalu, bayi tersebut belum keluar juga. Akan tetapi, ibuku merasa perutnya ada yang menendang-nendang dari dalam. Sakitnya pun terasa kembali namun tak sesakit pada waktu yang pertama. Seketika itu pula Yu Tuti dan bu Aminah beserta pembantunya mendekati ibu dan mempersiapkan kelahirannya. Dan benar terjadi, ibu merasa bayinya akan keluar. Dengan segala proses yang dilakukan bu Aminah beserta pembantunya kepada ibuku, membimbing pengaturan nafasnya, menekan perut ibu, menengadah persiapan bayi yang akan keluar. Beberapa menit kemudian, bayinya pun akhirnya keluar dengan selamat dan dalam keadaan sehat sempurna tanpa ada kesulitan apapun. Ibuku pun selamat tanpa mengalami sakit apapun setelah melahirkan bayinya. Bayinya lahir berjenis kelamin laki-laki, mungil, ganteng dan imut sekali. Bu Aminah pun langsung membungkusnya dengan kain dan rmemberikannya kepada ibuku. Perasaannya tak bisa dibendung, air mata bahagia pun mengalir dari matanya. Pipinya dicium dengan ciuman kelembutan dan kasih sayang, kemudian dibelainya dengan kelembutan seorang ibu kepada anaknya. Semua orang disekelilingnya pun turut bahagia.

Tak berapa lama kemudian ayahku pun datang. Melihat bayi yang digendong istrinya, ayahku langsung mencium keningnya dengan ciuman kasih sayang. Perasaan bahagia pun menyelimuti keduanya, ayah langsung menggendong bayinya.

"Wis diadzani?"[8] tanyanya kepada ibu.

"Durung,"[9] jawabnya.

Maka ayah pun langsung mengaadzani bayinya dengan suara yang begitu lantang. Di pembaringannya, ibu menangis bahagia anaknya lahir dengan sempurna yang sekarang ada di dalam naungan ayahnya yang tercinta. Setelah diadzani, ibu bercerita bagaimana proses kelahirannya tadi dari awal sampai akhir.

Ayahku tak menyangka bahwa bayinya akan lahir dengan mudah sekali tanpa ada rasa sakit apapun pada istrinya, bahkan tanpa kehadiran seorang suami ketika proses kelahirannya. Seketika itu, ayahku ingat dengan gurunya saat ia mondok dulu, namanya Ustadz KH. Ahmad Sahal. Karena terinspirasi dari nama gurunya, maka ayahku memberikan nama bayinya itu dengan nama Ahmad Sahal, agar gurunya selalu ia kenang pada nama bayinya itu. Begitu pula dengan bayinya, semoga bayinya bisa menjadi seorang 'alim seperti gurunya itu, atau bahkan melebihinya.



[1]Sebuah acara yang dilakukan setahun sekali memperingati wafatnya seorang ulama besar.

[2] Ayu, disingkat "yu". Panggilan untuk kakak perempuan.

[3]Tut, doakan anakku ya, agar lahirnya lancar.

[4] Iya bi, semoga anaknya lahirnya lancar dan bisa menjadi anak yang patuh kepada orang tua.

[5] Sabar ya bi, ku carikan becak, untuk bawa bibi ke bidan.

[6] Gimana Bu?

[7] Belum keluar bah, sepertinya menunggu kedatangan abah.

[8] Sudah diadzani?

[9] Belum.

Category:

0 comments:

Post a Comment