Dia diberikan nama oleh ayahnya dengan nama Ahmad Sahal, lahir malam hari di kasur bidan dengan selamat (pastinya…), tepatnya di kota Tegal, anak ke-6 dari 8 bersaudara. Dia pun diasuh oleh orang tuanya dengan kasih sayang dan kelembutan. Baru sekitar umur dua tahun, dia langsung dibawa keluarganya pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju kota Bekasi, tepatnya ujung timur Bekasi yang berbatasan dengan kota Karawang.
Umur 7 tahun dia disekolahkan di Taman Kanak-kanak Raudah Al-Athfal Annajah selama satu tahun. Setelah menyelesaikan bermainnya (karena kebanyakan maennya daripada belajarnya…) di TK tersebut, dia langsung dilemparkan kembali ke tempat asalnya di Tegal untuk menemani ibunya sambil menuntut ilmu di depan rumahnya, SDN Pesarean 01. Namun, hanya diberi waktu setengah tahun, dia dan ibunya diajak ayah dan kakak-kakaknya hijrah ke kota Bekasi, dimana ayahnya mendapat tugas mengajar di kota tesebut. Waktu enam tahun ia habiskan untuk menuntut ilmu di SDN Kertasari 01 Pebayuran Bekasi. Setelah itu, dia diberikan kebebasan memilih sekolah untuk melanjutkan studynya ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, namun dia lebih memilih ikut kakak kelimanya yang belajar di Pondok Pesantren Madinatunnajah, Tangerang Banten. Tiga tahun dia tuntaskan belajarnya demi memenuhi syarat wajib belajar 9 tahun dari pemerintah. Karena tak puas hanya 9 tahun belajar, akhirnya dia melanjutkan studinya di Ponpes Annajah Bekasi selama 3 tahun.
Setelah aliyah, dia dipusingkan dengan pilihan fokus minat belajar kejuruan di univesitas. Dengan berbagai pertimbangan dia memilih ikut tes SMNPTN di Jakarta. Namun sebelum mengikuti tes tersebut, dia mengikuti tes ujian Depag untuk belajar ilmu agama di Negara Mesir, dengan harapan lulus tes. Nmaun, karena khawatir tidak lulus di keduanya, dia pun berkesempatan mengikuti tes di LP3I Jakarta Pusat disebabkan ada minat di dalam dirinya ingin berkenalan dengan studi yang bernama TI (Teknologi Informasi).
Dari ketiga pilihan tersebut, ada dua pilihan yang berhasil ia tempuh dalam ujian tesnya, tes Depag dan LP3I. Sempat bingung dengan kedua pilihan, akhirnya dengan nasihat ayahnya, dia memilih kuliyah di luar negri, tepatnya di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
Kini, dia sedang menuntut ilmu di negri kinanah, jurusan 'Ammah Fakultas Bahasa Arab. Dengan mohon keridhoan kepada Allah SWT , semoga perjalanan hidupnya diberikan kelancaran dalam menuntut ilmu. Amin
Nun jauh disana ada sebuah kisah lelucon dari seseorang yang hidup pada zaman dahulu yang menceritakan tentang seorang raja yang mempunyai ternak buaya di sebuah kolam besar dibelakang rumahnya. Ternak buaya tersebut berjumlah puluhan ekor. Mungkin buaya-buaya akan bertambah banyak karena setiap minggunya setiap pasang buaya berkembang biak di kolam tersebut. Setiap hari sang raja harus mengeluarkan kocek uang ratusan ribu untuk memberi makan para buaya-buaya yang selalu kelaparan itu.
Suatu hari dimana masa krisis melanda kerajaan, sang raja tak dapat lagi memberikan makanan kepada para buaya-buaya sebanyak apa yang biasa ia berikan. Sang raja pun bingung memikirkan ternak buayanya yang kian hari kian banyak yang mati kelaparan tak mendapatkan makanan. Tanpa sungkan, sang raja pun meminta saran kepada para penasihatnya. Para penasihat pun memberikan saran agar diadakan sayembara. Sayembara yang diikuti oleh semua kalangan masyarakat di kerajaan tersebut. Pesuruh sang raja pun mengumumkan ditengah-tengah masyarakat yang sedang lalu-lalang di sekitar kerajaan.
“Pengumuman-pengumuman, akan diadakan sayembara esok hari. Bagi siapa yang mampu menceburkan diri dan bertahan selama 1 menit ke dalam kolam buaya sang raja, maka ia akan mendapatkan 50 juta rupiah.”
Esok hari, para rakyat berkumpul di belakang rumah raja. Mereka melihat buaya-buaya yang memunculkan kepalanya dengan mulut menganga terbuka, membuat bulu kuduk mereka berdiri tegak. Semuanya bergumam tentang apa maksud dari semua ini.
“Apa maksud dari sayembara ini?” tanya salah seorang dari mereka. “Kalau sayembaranya seperti ini, itu sama saja dengan bunuh diri,” timpal orang lain.
Menit berganti menit, tak ada satu pun dari mereka yang menceburkan dirinya ke dalam kolam tersebut. Satu jam pun terlewati, tak satupun dari mereka yang berani melakukannya juga. Akhirnya, sayembara pun di tunda hingga esok hari dengan penambahan hadiah menjadi 100 juta.
Esok harinya para rakyat berbondong-bondong mengunjungi kolam sang raja. Begitu banyak masyarakat yang mengunjungi kolam tersebut hanya untuk melihat siapa yang berani menceburkan dirinya kedalam kolam buaya yang terlihat ganas, yang lapar akan daging-daging yang ada di depan mereka. Animo masyarakat begitu besar untuk melihatnya. Jelas saja mereka antusias melihatnya, barangkali ada orang yang berani menceburkan diri barang satu menit saja dengan hadiah yang menggiyurkan, walaupun sebenarnya para buaya semakin ganas, sebab sudah seminggu ini tak ada makanan yang dilemparkan ke dalam kolam tersebut. Hal itu terlihat ketika masyarakat berdatangan, para buaya muncul dan mengitari kolam, seakan bahagia berharap ada manusia yang sudi turun untuk dijadikan santapannya.
Suasana hening memasuki area kolam tersebut. Lagi-lagi tak ada yang berani yang menceburkan dirinya kedalam kolam. Selang beberapa jam, sang pesuruh pun mengumumkan kepada masyarakat dengan menunda hingga esok hari dengan penambahan hadiah lagi menjadi 500 juta. Esok hari pun begitu, tak ada yang berani melakukan bunuh diri paksaan ditangan sang buaya ganas.
Karena tak ada satupun yang berani melakukan hal sangat tidak mungkin terjadi ini, maka sang raja pun turun tangan dengan mengumumkan penambahan hadiah sangat menggiurkan, yaitu menjadi 1 miliar. Para rakyat pun sumringah dan terheran-terheran dengan ucapan sang raja yang sangat jelas, 1 miliar. Gumam mereka pun semakin mengisi kerumunan di area tersebut.
Suasana berlanjut dengan kesunyian, ada sebagian dari mereka yang terlihat ingin mengikuti sayembara tersebut. Adapula yang bersembunyi dari kerumunan orang-orang, kareana mereka terlihat ketakutan melihat buaya-buaya yang terlihat sudah tidak sabar lagi menunggu rejeki nomplok datang. Sebagian lain dari mereka pun ragu-ragu, bahkan ada pula yang hanya ingin melihat-lihat saja. Mereka seakan-akan diiringi rasa ketakutan jika ada salah satu dari mereka menceburkan diri hanya untuk mendapatkan satu miliar.
“Betapa besarnya hadiah yang diberikan bagi seorang yang hanya menyerahkan dirinya kepada sekelompok buaya yang sudah bermingu-minggu tak diberi makan, namun siapa yang menyanggupinya, melihatnya saja sudah ngeri.” ucap salah seorang dari mereka.
Namun, disela-sela keheningan, dari sudut kolam terlihat ada salah seorang yang menceburkan dirinya ke dalam kolam tersebut. Tak dapat dipungkiri, semua orang melihat dengan tajam ke arah orang yang menceburkan dirinya kedalam kolam tersebut. Orang itu pun tenggelam sesaat, semua terdiam, menunggu korban yang tercebur muncul ke permukaan. Setelah selang beberapa menit, akhirnya si korban muncul dan langsung menaikan dirinya ke permukaan dengan pakaiannya yang menjadi compang-camping tergigit gigi buaya yang belum sempat melahapnya. Semua tercengang, seolah-olah tak percaya si korban dapat kembali lagi. Semua pun menunggu si korban mengucapkan kalimat yang akan ia ucapkan pertama kalinya setelah keluar dari detik-detik kematian. Tiga puluh detik kemudian pun si korban berkata,
“Woi, siapa yang dorong saya??????.”
Muka seluruh rakyat berubah dari penasaran menjadi senyum seakan ingin tertawa. Sebagian dari mereka tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu. Tak disangka, orang yang sangat pemberani itu ternyata terdorong teman yang ada disampingnya, karena banyaknya pengunjung yang saling dorong di dekat kolam. Semuanya seakan tak percaya melihat kejadian itu. Semua orang pun tak ada yang mau mengaku bahwa dari dorong-mendoronglah salah satu dari mereka bisa tercebur ke dalam kolam tersebut. Dan dari hasil dorong-mendoronglah orang itu bisa mendapatkan uang yang begitu besar itu. Namun, di sudut singgasana, sang raja sedih, apa yang dia inginkan tak sesuai dengan harapannya.
Nb: Diambil dari hasil seminar yang diisi oleh Ust. Saiful Bahri MA.
Sore hari itu, matahari telah tergeser dari posisinya yang teratas menjadi turun kebawah hampir setengahnya tak terlihat. Sinar kuning kemerah-merahan pun keluar darinya, menghiasi suasana desa pesarean dimana anak-anak sedang bercanda tawa bersama ayah dan ibunya, para remaja berbincang santai, tukang becak yang kelelahan pulang dari tugasnya mencari nafkah untuk anak istri, anak-anak yang berbondong-bondong pergi ke madrasah diniyah untuk belajar mengaji dan pengetahuan agama, serta para santri yang pergi ke masjid mendengarkan kyainya berbicara panjang lebar tentang kitab-kitab yang mereka pelajari.
Suasana di desaku selalu begitu setiap harinya, tak ada yang berubah, kecuali jika ada hari-hari besar, seperti maulid Nabi SAW, hari raya Idul Adha, hari raya Idul Fithri. Semua masyarakatpasti memperingatinya dengan berbagai kegiatan. Berbeda lagi jika menjelang khaul[1]almarhum Kyai Sholeh, seorang kyai yang sangat berpengaruh di desaku, seorang kyai yang hidupnya diperuntukan hanya untuk berdakwah, seorang kyai yang karenanya desaku menjadi terkenal. Seminggu sebelum acara, sekitar satu kilometer dari pemakaman dan sekeliling daerah pemakaman kyai berubah menjadi pasar. Berbagai macam makanan, pakaian, bahkan mainan anak-anak tersedia di pasar dadakan itu. Pada hari acara, desa-desa tetangga pasti menghadiri acara tersebut.
Sore itu, Ibuku sedang berbincang-bincang di teras rumah dengan Yu[2] Tuti, sepupuku yang umurnya terpaut jauh denganku. Abah sedang pergi mengisi pengajian di masjid desa tetangga.
"Tut, dongakena anakku ya, ben lahire lancar"[3] tutur ibuku kepada Tuti sambil mengelus-elus perutnya.
"Iya lik, semoga anakke sampean lahire lancar lan dadi anak sing patuh maring wong tua"[4] ucap Tuti yang juga mengelus-elus perut emak.
"Amin," balas ibuku.
Ibuku sedang mengandung hampir 9 bulan, mungkin beberapa hari lagi bayi mungil akan keluar dari rahimnya. Bayi yang akan menambah kebahagiaan rumah, bayi yang akan membahagiakan kakaknya yang ingin mencubit pipinya, bayi yang akan membahagiakan paman bibinya yang ingin mencium keningnya, dan bayi yang akan membahagiakan kakek neneknya yang ingin menimangnya.
Segala perlengkapan bayi telah disiapkan, dari pakaian bayi, makanan bayi, kain untuk membungkus bayi, sampai alat untuk menutup bayi ketika bayi tidur pun sudah disiapkannya. Hanya tinggal menunggu hari kelahirannya.
Namun, ketika tak lama berbincang dengan Yu Tuti, ibuku terasa kesakitan diperutnya. Kesakitan bukan main, sakit sekali. Yu Tuti pun langsung membawanya ke dalam rumah untuk diistirahatkan. Ucapan shalawat terlontar dari mulut ibuku, biasa beliau ucapkan untuk menenangkan rasa was-wasnya. Akan tetapi rasa sakitnya tak tertahankan, sepertinya bayinya ingin keluar dari rumah sementaranya, tubuhnyasudah tidak muat lagi didalam rahim ibunya.
"Sabar ya lik, ta goletna becak nggo gawa lik maring bidan,"[5] ucap Yu Tuti dengan rasa was-was dan tegang melihat bibinya yang tidak kuat menahan rasa sakitnya.
Seketika itu pula Yu Tuti memanggil tukang becak dan menyuruh Munir –adiknya- untuk memanggil Abah di tempat mengajinya. Becak pun datang dan ibuku dan Yu Tuti langsung pergi ke Bidan Aminah yang kebetulan tak jauh dari rumah, letaknya sekitar dua kilo meter dari rumah. Lima belas menit sudah perjalanan dan sampai di klinik bidan, ibuku langsung dibawa menuju ruang bidan dan bu Aminah dengan pembantunya pun langsung sigap mengurusi ibuku dengan peralatan yang cukup memadai.
Shalawat yang diucapkan Ibu pun tak pernah putus, berharap itu sebagai penawar rasa sakit. Bu Aminah langsung menenangkan ibu dengan berbagi ucapan kesabaran dan ketenangan. Walaupun sebenarnya ibu sudah biasa mengalami seperti ini, namun ketika dalam keadaan seperti ini, seolah-seolah ibu lupa dengan semua peristiwa lahir-melahirkan anaknya. Ibuku mempunyai lima anak, dan ini merupakan anak yang ke-enamnya. Semua anak-anaknya dilahirkan di Karangasem, desa ayahku di Brebes, kota yang biasa dijuluki dengan kota Bawang. Dan anak yang ini yang akan dilahirkan di Tegal, kota yang biasa dijuluki dengan kota Bahari.
Setelah beberapa menit kemudian, ibu sudah tidak merasa sakit lagi, seolah-olah seperti sakit perut biasa yang hilang begitu saja rasa sakitnya. Bu Aminah mengira bayinya akan keluar, padahal dia sudah siap membantu ibuku untuk mengeluarkan bayinya. Akhirnya, Ibu pun diistirahatkan untuk sekedar menghilang rasa was-was dan khawatir akan terasa sakit lagi perutnya.
Setengah jam kemudian, ayahku pun datang dengan dibonceng motor murid pengajiannya. Perasaannya bermacam-macam. Was-was karena mendengar berita bahwa istrinya kesakitan yang sangat pada perutnya. Gembira karena sebentar lagi ia akan mempunyai anak lagi.
"Primen mak?,"[6] tanya ayahku sambil mengelus kepala ibuku, seakan terlihat lemas namun tersenyum sumringah, karena suami tercinta telah datang.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam pun berlalu. Namun bayi yang ditunggunya tak kunjung keluar dari perut ibu. Kesabaran dan ketenangan menyelimuti Ayah dan ibuku. Ibu sudah biasa mengalami detik-detik kelahiran, ayah pun menunggunya dengan setia. Namun, ini berbeda dengan kelahiran kakak-kakaknya, lama sekali menunggu kelahirannya. Di sisi lain ayah sudah kepalang janji dengan teman pengajiannya untuk mengisi ceramah di masjid Ar-Rahmah, sebuah janji yang tidak bisa diingkarinya, karena semua muridnya dan masyarakat sudah menunggu disana, menunggu seorang da'i menyampaikan dakwahnya dengan melontarkan ribuan kalimat Allah SWT yang memang sudah menjadi kewajiban seorang da'i untuk melaksanakannya.
Ayahku pun berpikir, ceramahnya mungkin tak akan lama mengingat bayinya akan lahir, dan kalaupun bayinya lahir disaat dirinya tidak ada ditempat, itu memang sudah ketentuan Allah SWT. Maka, dengan segala kelembutannya, ayahku pun meminta izin kepada ibuku untuk pergi mengisi ceramah sebentar dengan berbagai pilihan tadi. Dengan keikhlasannya, ibuku pun memberi izin, karena memang itu tugas suaminya, dan ibuku berserah diri kepada Allah SWT kalaupun bayinya lahir sedangkan ayah belum kembali lagi. Akhirnya, ayah pun pergi dengan perasaan yang sebenarnya tak ingin meninggalkan istrinya, namun karena janjinya harus ditepati, ayah pun harus menunaikannya.
Satu jam pun berlalu, bayi tersebut belum keluar juga. Akan tetapi, ibuku merasa perutnya ada yang menendang-nendang dari dalam. Sakitnya pun terasa kembali namun tak sesakit pada waktu yang pertama. Seketika itu pula Yu Tuti dan bu Aminah beserta pembantunya mendekati ibu dan mempersiapkan kelahirannya. Dan benar terjadi, ibu merasa bayinya akan keluar. Dengan segala proses yang dilakukan bu Aminah beserta pembantunya kepada ibuku, membimbing pengaturan nafasnya, menekan perut ibu, menengadah persiapan bayi yang akan keluar. Beberapa menit kemudian, bayinya pun akhirnya keluar dengan selamat dan dalam keadaan sehat sempurna tanpa ada kesulitan apapun. Ibuku pun selamat tanpa mengalami sakit apapun setelah melahirkan bayinya. Bayinya lahir berjenis kelamin laki-laki, mungil, ganteng dan imut sekali. Bu Aminah pun langsung membungkusnya dengan kain dan rmemberikannya kepada ibuku. Perasaannya tak bisa dibendung, air mata bahagia pun mengalir dari matanya. Pipinya dicium dengan ciuman kelembutan dan kasih sayang, kemudian dibelainya dengan kelembutan seorang ibu kepada anaknya. Semua orang disekelilingnya pun turut bahagia.
Tak berapa lama kemudian ayahku pun datang. Melihat bayi yang digendong istrinya, ayahku langsung mencium keningnya dengan ciuman kasih sayang. Perasaan bahagia pun menyelimuti keduanya, ayah langsung menggendong bayinya.
Maka ayah pun langsung mengaadzani bayinya dengan suara yang begitu lantang. Di pembaringannya, ibu menangis bahagia anaknya lahir dengan sempurna yang sekarang ada di dalam naungan ayahnya yang tercinta. Setelah diadzani, ibu bercerita bagaimana proses kelahirannya tadi dari awal sampai akhir.
Ayahku tak menyangka bahwa bayinya akan lahir dengan mudah sekali tanpa ada rasa sakit apapun pada istrinya, bahkan tanpa kehadiran seorang suami ketika proses kelahirannya. Seketika itu, ayahku ingat dengan gurunya saat ia mondok dulu, namanya Ustadz KH. Ahmad Sahal. Karena terinspirasi dari nama gurunya, maka ayahku memberikan nama bayinya itu dengan nama Ahmad Sahal, agar gurunya selalu ia kenang pada nama bayinya itu. Begitu pula dengan bayinya, semoga bayinya bisa menjadi seorang 'alim seperti gurunya itu, atau bahkan melebihinya.
[1]Sebuah acara yang dilakukan setahun sekali memperingati wafatnya seorang ulama besar.
[2]Ayu, disingkat "yu". Panggilan untuk kakak perempuan.
Aku adalah aku Aku adalah diriku Aku bukan kamu Aku bukan dia
Aku bukan mereka Aku memang aku Aku hanya aku Aku adalah aku
Tak ada yang bisa merubah diriku Kecuali diriku sendiri Aku tak bisa seperti dirimu Aku tak bisa seperti dirinya
Tetapi aku hanya bisa menjadi diriku sendiri Akan kucari apa yang aku butuhkan Aku tak mau mencari apa yang aku inginkan Aku bukanlah seseorang Aku hanyalah seseorang